ANALISIS PSIKOLINGUISTIK TERHADAP KOMPETENSI KOMUNIKATIF PESERTA DIDIK SMP
PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA
1.
Latar Belakang Masalah
Harian Jawa
Pos, tanggal 11 September 2008 halaman 5 memuat artikel yang menarik. Pasangan
Sprightly Phyllis Tarrat (100 tahun) dan Ralph (105 tahun) merayakan ulang
tahun pernikahan yang ke 75. Sebuah ulang tahun intan untuk usia pernikahan
yang sangat jarang terjadi di dunia.
Pasangan ini diklaim sebagai pasangan suami-istri (pasutri) tertua di
Inggris. Pasangan yang menikah pada 8
Juli 1933, sampai sekarang kondisinya tetap harmonis, kondisi kesehatannya juga
bagus. Apa rahasianya ya? Ketika ditanya apa rahasia panjang umur mereka,
Ralph mengatakan ada 4 rahasia dari pasangan yang sehari-hari masih
beraktivitas memasak, bersih-bersih rumah dan belanja. 3 rahasia diantaranya
barangkali sering kita dengar atau sering menjadi rahasia panjang umur
kebanyakan orang, yaitu mengkonsumsi makanan sehat, olah raga cukup, tidak merokok dan 1 lagi rahasia pasutri yang telah dikaruniai 7 cucu dan 2 cicit itu,
yaitu komunikatif (http://www.inspiratio.web.id/?p=43).
Komunikatif
artinya mampu
menyampaikan pesan dengan baik. Artinya, pesan yang diterima oleh penerima (receiver) sama dengan maksud pesan yang
disampaikan oleh pengirim pesan (sender). Yang dimaksud pesan (message) disini bukan hanya informasi,
namun termasuk juga pemikiran, keinginan dan perasaan. Sesederhana
itukah rahasia umur panjang pasutri yang bertemu pertama kali saat Ralph
berusia 14 tahun? Tentu saja tidak.
Dari buku Crystal Clear
Communication (Kris
Cole) yang membahas
masalah komunikasi dengan simple namun mengena. Dalam bukunya
tersebut ada beberapa
prinsip komunikasi yang tepat yaitu mendengarkan untuk mendapatkan pemahaman, berikan penekanan untuk kata yang ingin diperjelas, empati, tegas dan percaya diri, kata-kata itu penting namun cara menyampaikan itu jauh lebih penting.
Menurut Darjowidjojo (2008) bagaimana
proses psikologi seseorang ketika mengucapkan kata-kata dan memahami kata-kata
yang didengarkannya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana seseorang memperoleh kata-kata itu dapat diamati dengan
psikolinguistik. Jika kita mendalami psikolinguistik maka kita dapat mengamati
serangkaian proses psikologi yang terjadi terhadap anak sehingga kita dapat
meminimalkan cara yang kurang efektif dan memaksimalkan cara yang efektif untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik. Psikolinguistik dalam implikasinya dapat digunakan untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik dalam pembelajaran.
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, konvensional dan
dipengaruhi oleh manusia sebagai sarana komunikasi. Bahasa dipandang
sebagai bahasa yang memiliki ciri khas sendiri dan memiliki keunikan. Hal
tersebut dapat dijaki melalui disiplin ilmu psikolinguistik. Psikolinguistik
merupakan ilmu yang menguraikan proses-proses psikologis yang terjadi apabila
seseorang menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang didengarnya waktu
berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh manusia
(Simanjuntak, 1987: 1 ; Harras, 2009). Psikolinguistik merupakan gabungan dari
psikologi dan linguistik. Tujuan dari psikolinguistik yaitu menemukan struktur
dan proses yang melandasi kemampuan manusia untuk berbicara dan memahami bahasa
(Harras, 2009: 1). Komunikasi merupakan proses dimana individu bertukar
informasi dan menyampaikan pikiran serta perasaan, dimana ada pengirim pesan
yang mengkodekan/ memformulasikan pesan dan penerima mendekodekan pesan / memahami
pesan. Bahasa sebagai alat berkomunikasi yakni untuk mempermudah pesan
disampaikan dan dipahami (Berstein & Tiegerman, 1993 ; Yuwono, 2009).
Dalam pemakaiannya, tidak semua orang dapat menggunakan bahasa dengan baik
atau disebut dengan kelainan berbahasa. Faktanya, dengan beragamnya keinginan
dan hasrat para pengguna bahasa, bahasa yang semula berfungsi sebagai sarana
komunikasi telah beralih fungsi sebagai mediator yang hebat untuk kepentingan
para pengguna bahasa itu sendiri. Bahasa
para anggota politik misalnya. Dengan memberikan janji-janji manis, rayuan
dengan iming-iming kesejahteraan ternyata masih dirasa efektif untuk memperoleh
masa sebanyak-banyaknya. Hal ini dikarenakan melalui komunikasi mereka
menyelipkan visi dan misi atau kata andalan yang membuat rakyat yakin dan
mantap untuk memilihnya. Ada pepapatah kuasailah
bahasanya, maka kamu juga akan menguasai negaranya jika di nalar ternyata
ada buktinya. Hal ini mengandung maksud dengan bahasa kita bisa berkomunikasi,
dengan berkomunikasi yang tepat kita bisa mempengaruhi suatu warga negara sepaham
dengan kita. Dalam kondisi seperti ini tentunya keterampilan komunikasi sangat
berperan penting. Pepatah mulut lebih
tajam dari pada pedang dan fitnah
lebih kejam dari pada pembunuhan menunjukan bahwa perkataan memiliki
kekuatan yang sungguh luar biasa. Dengan perkataan seseorang bisa mengobati,
dengan perkataan pula seseorang bisa menyakiti. Oleh karena itu dalam konteks
apapun keterampilan komunikatif memegang peranan utama dalam penggunaan bahasa
secara baik dan benar.
Dalam Psikolinguistik, secara sistemik seseorang dikondisikan menggunakan
ragam bahasa dengan baik dan benar . Kelainan dalam menggunakan bahasa adalah
masalah dalam komunikasi dan bagian-bagian yang berhubungan dengan fungsi organ
bicara. Beragam macam permasalahan atau keterampilan dalam berbicara dapat
dianalisis menggunakan kajian psikolinguistik. Kelainan berbahasa tersebut masih banyak kita temukan di lingkungan
keluarga, masyarakat bahkan sekolahan. Di lingkungan keluarga misalnya, anak
membantah orang tua, berbicara kasar, melawan orang tua dengan hujatan-hujatan
yang tidak pantas sudah menjadi hal tidak asing di telinga kita. Bahkan yang baru gencar di televisi awal bulan April
lalu ada anak yang tega membunuh orang tua gara-gara anak tersinggung dengan perkataan
orang tuanya.
Akhir-akhir ini berbagai media baik elektronik maupun cetak menyorot kiprah pendidikan yang semakin
memburuk. Terjadi tawuran, kekerasan, tindak kriminal, pelecehan seksual, dan
yang baru-baru ini adalah keterlambatan dan ketidaksiapan dalam menyelengarakan
ujian Nasional baik itu SMA maupun SMP. Alasan yang sering digunakan berbagai
komponen pendidikan sebagai temeng adalah saling menyalahkan. Pihak keluarga
menyalahkan pihak sekolahan, kemudian sekolahan juga tidak berdaya dengan
kondisi masyarakat dan keluarga yang mendukung. Apalagi masyarakat, yang
notabennya sebagai ruang nyata bagi aplikasi pendidikan tidak memberikan raung
tepat bagi anak-anak kita berkembang secara psikologisnya.
Bahasa berperan sangat
penting dan sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional
peserta didik sekaligus merupakan sarana untuk mencapai keberhasilan dalam
mempelajari semua mata pelajaran. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu
peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain. Selain itu, dalam
Kurikulum 2013 pembelajaran bahasa menjadi sarana pembentukan karakter peserta
didik seperti jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja
sama, toleran, damai), santun, responsif, dan proaktif dalam mengemukakan
gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa
tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif
yang ada dalam dirinya.
Berkenaan Arah perubahan kurikulum 2013, Mendikbud
menjelaskan bahwa kurikulum baru terkait dengan tiga kompetensi terpenting
yakni attitude, skill, dan knowledge (ASK) dengan penekanan berbeda
pada setiap jenjang pendidikan. Peserta
didik di SD diprioritaskan memperoleh mata pelajaran yang dapat membentuk
sikap, sementara peserta didik SMP diarahkan pada keterampilan, dan peserta
didik SMA dipenuhi dengan mata pelajaran yang dapat diarahkan untuk membangun
pengetahuan. Untuk peserta didik SMP pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk mencapai peningkatan
kemampuan peserta didik berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan
benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap
hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Kompetensi mata
pelajaran (KMP)
Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang
terdiri atas keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis),
kebahasaan, kesastraan, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia.
Standar kompetensi mata pelajaran ini merupakan indikator bagi peserta
didik dalam mencapai pemahaman dan
kemampuan merespons situasi lokal, regional, nasional, dan global.
Bahasa Indonesia sangat erat
kaitannya dengan bahasa oleh karena itu komponen berbahasa mempunyai peranan
yang sentral terhadap proses pembelajaran. Untuk dapat menciptakan proses
pembelajaran bahasa Indonesia yang efektif dan efisien maka kita harus
meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik. Salah satu cara untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik adalah dengan menerapkan
psikolinguistik dalam pembelajaran. Untuk dapat menerapkan psikolinguistik
dalam pembelajaran maka kita harus menyesuaikan dengan Kurikulum 2013.
Psikolinguistik yang diterapkan dalam kurikulum 2013 menuntut peserta didik
untuk berperilaku sesuai dengan kondisi psikologi masing-masing peserta didik. Peserta
didik diberikan keleluasaan untuk belajar dari semua hal yang mereka sukai
sehingga peserta didik merasa senang, antusias, dan tidak merasa tertekan dalam
mengikuti pembelajaran. Setelah kita mengetahui kondisi psikologi masing-masing
peserta didik baru kita dapat menganalisis masalah-masalah yang muncul dan
solusi apa yang harus dilakukan agar peserta didik dapat mengikuti pembelajaran
dengan efektif dan efisien.
Peserta didik adalah subjek dalam
pembelajaran. Karena itu, dalam hal ini peserta didik dianggap sebagai
organisme yang beraktivitas untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik
kognitif, afektif, maupun psikomotor Garnham (Nababan, 1992: 60-61). Kemampuan
menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak dan membaca) ataupun
produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi. Dalam pembelajaran
di kelas maupun aktivitas diluar kelas banyak kita temukan penyimpangan
terhadap aktivitas berbicara dengan pengklasifikasian kesalahan yang
berbeda-beda.
Menurut Garnham penyebab kesalahan yang dilakukan oleh pembicara di
antaranya adalah kesaratan beban (overloading),
yaitu perasaan waswas (menghadapi ujian atau pertemuan dengan orang yang
ditakuti) atau karena penutur kurang menguasai materi, terpengaruh oleh
perasaan afektif, kesukaran melafal kata-kata, dan kurang menguasai topik.
Fakta yang sering dijumpai dalam pembelajaran, peserta didik ketika berbicara masih
banyak permasalahan dalam pemilihan kosakata, adanya keraguan/rasa takut,
ketidak tepatan dalam melafalkan atau etika berbicara, pembicaraan berhenti
atau tidak lancar dikarenakan kehilangan konsep. Malah yang lebih parahnya
terkadang peserta didik menyelipkan dengan kata-kata yang kurang sopan. Begitu
pun yang menjadi lawan bicara, daya tangkap dan persepsi peserta didik dalam menyimak
ujaran dari penutur masih sangat rendah.
Akibatnya setiap materi atau informasi yang disampaikan guru maupun
temannya tidak bisa dipahami bahkan tidak masuk sama sekali. Akibatnya peserta
didik yang seperti itu sering tertinggal dalam mengikuti pembelajaran bahasa.
Hal ini dikarenakan dalam keterampilan Bahasa lebih menekan pada ketarampilan
berbahasa itu sendiri.
Dari penyebab kesalahan-kesalahan tadi, dapat diklasifikasikan berdasarkan
ranah Psikologi. Penyebab kesalahan berupa perasaan ragu atau takut berkaitan
dengan ranah afektif. Penyebab kesalahan berupa konsep hilang di tengah
pembicaran berkaitan dengan ranah kognitif, dan penyebab kesalahan berupa
kesukaran melafalkan kata berkaitan dengan ranah psikomotorik.
Contoh-contoh kesalahan dan penyebab kesalahan yang telah dijelaskan tadi
menunjukkan bahwa peran psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa sangat
penting. Tujuan umum pembelajaran bahasa, yaitu peserta didik mampu menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik dalam berbahasa lisan ataupun
berbahasa tulis. Agar peserta didik dapat berbahasa Indonesia yang baik dan
benar diperlukan pengetahuan akan kaidah-kaidah bahasa. Kaidah-kaidah bahasa
dipelajari dalam linguistik. Untuk dapat menggunakan bahasa secara lancar dan
komunikatif peserta didik tidak hanya cukup memahami kaidah bahasa, tetapi
diperlukan kesiapan kognitif (penguasaan kaidah bahasa dan materi yang akan
disampaikan), afektif (tenang, yakin, percaya diri, mampu mengeliminasi rasa
cemas, ragu-ragu, waswas, dan sebagainya), serta psikomotor (lafal yang fasih,
keterampilan memilih kata, frasa, klausa, dan kalimat). Dengan demikian,
jelaslah bahwa betapa penting peranan Psikolinguistik dalam pembelajaran
bahasa.
2.
Kajian Teoritis
2.1. Pengertian Psikolinguistik
Psikologi berasal dari bahasa
Inggris pscychology. Kata pscychology berasal dari bahasa Greek (Yunani),
yaitu dari akar kata psyche yang berarti jiwa, ruh, sukma dan logos yang
berarti ilmu. Jadi, secara etimologi psikologi berati ilmu jiwa (Chaer
2009:2). Linguistik ialah ilmu yang objek kajiannya adalah bahasa,
sedangkan bahasa itu sendiri merupakan fenomena yang hadir dalam segala
aktivitas kehidupan manusia (Chaer 2009:4). Oleh karena itu linguistik itu pun
menjadi sangat luas kajiannya sehingga adanya berbagai cabang linguistik yang
dibuat berdasarkan berbagai kriteria atau pandangan. Pada tahap akhir ini,
Psikolinguistik tidak lagi berdiri sendiri sebagai ilmu yang terpisah dari
ilmu-ilmu lain karena pemerolehan dan penggunaan bahasa manusia menyangkut
banyak cabang ilmu yang lain (Dardjowidjojo 2008: 6).
Gagasan pemunculan psikolinguistik sebenarnya sudah
ada sejak tahun 1952, yaitu sejak Social Science Research Council di
Amerika Serikat mengundang tiga orang linguis dan tiga orang psikolog untuk
mengadakan konferensi interdisipliner. Secara formal istilah Psikolinguistik
digunakan sejak tahun 1954 oleh Charles E. Osgood dan Thomas A. sebeok dalam
karyanya berjudul sycholinguistics, A Survey of Theory and Research roblems.
Sejak itu istilah tersebut sering digunakan.
Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (Nikelas,
1988: 10) dinyatakan linguistics is the
science of language, e.g. its structure, acquisition, relationship to other
forms of communication ‘linguistik adalah
’ilmu tentang bahasa yang menelaah, misalnya tentang struktur bahasa,
pemerolehan bahasa dan tentang hubungannya dengan bentuk-bentuk lain dari
komunikasi’.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
Linguistik ialah ilmu tentang bahasa
dengan karakteristiknya. Bahasa sendiri dipakai oleh manusia, baik dalam
berbicara maupun menulis dan dipahami oleh manusia baik dalam menyimak ataupun
membaca. Untuk lebih jelasnya, mengenai pengertian Psikolinguistik berikut ini
dikemukakan beberapa definisi Psikolinguistik.
Garnham (Su’udi, 2011: 2) mengemukakan Psycholinguistics is the study of a mental
mechanisms that nake it possible for people to use language. It is a scientific
discipline whose goal is a coherent theory of the way in which language is
produce and understood. ‘Psikolinguistik
adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan
bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran’.
Sejalan dengan pendapat di atas. Field (2003:2)
mengemukakan psycholinguistics explores
the relationship between the human mind and language ‘psikolinguistik
membahas hubungan antara otak manusia dengan bahasa’.
Aitchison (Dardjowidojo, 2008: 7) berpendapat bahwa
psikolinguistik adalah studi tentang bahasa dan minda. Minda atau otak
beroperasi ketika terjadi pemakaian bahasa. Karena itu, Harley (Dardjowidjojo:
2008:7) berpendapat bahwa psikolinguistik adalah studi tentang proses
mental-mental dalam pemakaian bahasa.
Sebelum menggunakan bahasa, seorang pemakai bahasa
terlebih dahulu memperoleh bahasa. Dalam kaitan ini Levelt (Marat, 1983:
1) mengemukakan bahwa Psikolinguistik adalah suatu studi mengenai penggunaan
dan perolehan bahasa oleh manusia.
Kridalaksana (1982: 140) pun berpendapat sama
dengan menyatakan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari
hubungan antara bahasa dengan perilaku dan akal budi manusia serta
kemampuan berbahasa dapat diperoleh.
Dalam proses berbahasa terjadi proses memahami dan
menghasilkan ujaran, berupa kalimat-kalimat. Karena itu, Emmon Bach
(Tarigan 1985: 3) mengemukakan bahwa Psikolinguistik adalah suatu ilmu yang
meneliti bagaimana sebenarnya para pembicara/pemakai bahasa
membentuk/membangun kalimat-kalimat bahasa tersebut.
Sejalan dengan pendapat di atas Slobin (Chaer, 2003:
5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses
psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang
didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan bahasa diperoleh
manusia.
Secara lebih rinci Chaer (2008:6) berpendapat
bahwa psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan
bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu
memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu.
Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi
proses memproduksi dan memahami ujaran. Dalam kaitan ini Garnham
(Musfiroh, 2002: 1) mengemukakan Psycholinguistics
is the study of a mental mechanisms that nake it possible for people to use
language. It is a scientific discipline whose goal is a coherent theory of the
way in which language is produce and understood ‘Psikolinguistik adalah
studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa,
baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran’.
Dalam penggunaan bahasa terjadi proses mengubah
pikiran menjadi kode dan mengubah kode menjadi pikiran. Dalam hubungan ini
Osgood dan Sebeok (Pateda: 1990) menyatakan pscholinguistics
deals directly with the processes of encoding and decoding as they relate
states of communicators ‘psikolinguistik secara langsung berhubungan dengan
proses-proses mengkode dan mengerti kode seperti pesan yang disampaikan oleh
orang yang berkomunikasi’.
Ujaran merupakan sintesis dari proses pengubahan
konsep menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan merupakan rekognisi sebagai
hasil analisis. Karena itu, Lyons berpendapat bahwa tentang
psikolinguistik dengan menyatakan bahwa psikolinguistik adalah telaah mengenai
produksi (sintesis) dan rekognisi (analisis).
Bahasa sebagai wujud atau hasil proses dan sebagai
sesuatu yang diproses bisa berupa bahasa lisan
atau bahasa tulis, sebagaimana dikemukakan
oleh Kempen (Marat 1983: 5) bahwa Psikolinguistik adalah studi mengenai
manusia sebagai pemakai bahasa, yaitu studi mengenai sistem-sistem bahasa
yang ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara manusia dapat menangkap
ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri
melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan. Apabila dikaitkan
dengan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh peserta didik, hal ini
berkaitan dengan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis.
Pendapat di atas pun secara tersurat menyatakan
bahwa Psikolinguistik pun mempelajari pemerolehan bahasa oleh manusia
sehingga manusia mampu berbahasa. Lebih jauhnya bisa berkomunikasi dengan
manusia lain, termasuk tahapan-tahapan yang dilalui oleh seorang anak manakala
anak belajar berbahasa sebagaimana dikemukakan oleh Palmatier (Tarigan, 1985:
3) bahwa Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perkembangan bahasa anak.
Semua bahasa yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan
untuk berkomunikasi. Karena itu, Slama (Pateda, 1990: 13) mengemukakan
bahwa psycholinguistics is the study of
relations between our needs for expression and communications and the means
offered to us by a language learned in one’s childhood and later ‘psikolinguistik
adalah telaah tentang hubungan antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk
berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita
melalui bahasa yang kita pelajari sejak kecil dan tahap-tahap selanjutnya.
Perilaku yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku
manusia ketika berbicara dan menulis atau ketika dia memproduksi
bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika
memahami yang disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang
dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan ruang lingkup
Psikolinguistik yaitu pemerolehan bahasa, pemakaian bahasa, pemproduksian
bahasa, pemprosesan bahasa, proses pengkodean, hubungan antara bahasa dan
prilaku manusia, hubungan antara bahasa dengan otak. Berkaitan dengan hal ini
Yudibrata, Andoyo Sastromiharjo, Kholid A. Harras(1997/1998: 9)
menyatakan bahwa Psikolinguistik meliputi pemerolehan atau akuaisisi bahasa,
hubungan bahasa dengan otak, pengaruh pemerolehan bahasa dan penguasaan bahasa
terhadap kecerdasan cara berpikir, hubungan encoding (proses mengkode) dengan
decoding (penafsiran/pemaknaan kode), hubungan antara pengetahuan bahasa dengan
pemakaian bahasa dan perubahan bahasa).
Field (2003: 2) mengemukakan ruang lingkup
Psikolinguistik sebagai berikut: language
processing, language storage and access, comprehension theory, language and the
brain, bahasa dalam keadaan istimewa, language in exceptional circumstances, frst language acquisiton ‘pemrosesan
bahasa, penyimpanan dan pemasukan bahasa, teori pemahaman bahasa, bahasa dan
otak, pemerolehan bahasa
Secara lebih rinci Musfiroh pun berpendapat (2002)
bahwa Psikolingusitik meliputi
a. Hubungan antara
bahasa dan otak, logika, dan pikiran
b. Proses bahasa dalam
komunikasi: produksi, persepsi dan komprehensi
c. Permasalahan makna
d. Persepsi ujaran dan
kognisi
e. Pola tingkah laku
berbahasa
f.
Pemerolehan bahasa pertama dan kedua
g. Proses berbahasa pada
individu abnormal
Dardjowidjojo (2008:7) Secara Psikolinguistik ada 4 komponen yang mempengeharuhi bagaimana sebuah bahasa
bisa keluar dalam dari alat ucap manusia Komponen tersebut yaitu kompreherensi,
yang merupakan proses mental bagaimana seseorang menangkap perkataan orang dan
memahami maksudnya. Komponen yang kedua adalah produksi yaitu proses mental
pada diri kita yang membuat kita dapat berujar. Komponen yang ketiga yaitu
landasan biologis serta neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa.
Komponen yang yang keempat yaitu pemerolehan bahasa yakni bagaimana anak
memperoleh bahasa mereka.
2.2.
Peran Psikolinguistik dalam Pembelajaran Bahasa
Peserta didik adalah subjek dalam pembelajaran. Karena
itu, dalam hal ini peserta didik dianggap sebagai organisme yang beraktivitas
untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif, maupun
psikomotor.
Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif
(menyimak dan membaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis) melibatkan
ketiga ranah tadi. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Garnham (Nababan,
1992: 60-61) terhadap aktivitas berbicara ditemukan berbagai
berbicara yang menyimpang (kurang benar). Menurut Garnham penyebab kesalahan
yang dilakukan oleh pembicara di antaranya adalah kesaratan beban
(overloading), yaitu perasaan waswas (menghadapi ujian atau pertemuan dengan
orang yang ditakuti) atau karena penutur kurang menguasai materi,
terpengaruh oleh perasaan afektif, kesukaran melafal kata-kata, dan kurang
menguasai topik.
Dari penyebab kesalahan-kesalahan tadi, dapat kita
klasifikasikan berdasarkan ranah Psikologi. Penyebab kesalahan berupa perasaan
waswas berkaitan dengan ranah afektif. Penyebab kesalahan berupa kurang
menguasai materi atau topik berkaitan dengan ranah kognitif, dan penyebab
kesalahan berupa kesukaran melafalkan kata berkaitan dengan ranah psikomotorik.
2.3. Komunikatif
Komunikatif merupakan (1) keadaan saling dapat berhubungan (mudah
dihubungi); (2) mudah dipahami (dimengerti): bahasanya sangat -- sehingga pesan
yang disampaikannya dapat diterima dengan baik (http://kamusbahasaindonesia.org/komunikatif/mirip#ixzz2RTW9HPNp)
Komunikatif
adalah kata sifat dari kata komunikasi. Secara etimologis, “komunikasi” berasal
dari bahasa Latin. Ia terbentuk dari dua suku kata, yakni “cum” dan “umus”.
Yang pertama berarti “dengan”, dan lainnya berarti “satu”. Dari dua kata
tersebut, terbentuklah kata benda “communio”, lantas di-Inggriskan
menjadi “communion” yang berarti kebersamaan, persatuan gabungan,
pergaulan, atau hubungan.
Karena untuk
ber-communio diperlukan adanya usaha dan kerja, maka terbuatlah kata
kerja “communicare”, yang artinya: membagi sesuatu dengan seseorang,
tukar-menukar, membicarakan sesuatu dengan orang, memberitahukan sesuatu kepada
seseorang, bercakap-cakap, bertukar pikiran, berhubungan, berteman.
Jadi,
komunikasi berarti pemberitahuan pembicaraan, percakapan, pertukaran pikiran
atau hubungan. Lebih jelas lagi, kata Communicate, seperti dalam Longman
Dictionary Of Contemporary, adalah: “to make opinions, feelings,
information, etc, known or understood by others” (http://zoelfansyah.blogspot.com/2011/04/pendekatan-komunikatif-dalam.html).
Arti lain yang
juga dikemukakan dalam kamus tersebut adalah berbagi (to share) atau
bertukar (to exchange) pendapat, perasaan, informasi dan sebagainya.
Sedangkan communication diartikan sebagai tindakan atau proses berkomunikasi (the
act or process of communicating).
Dennis Murphy
dalam bukunya Better Bussiness Communication, sebagaimana dikutip Drs.
Wursanto (1994) dalam bukunya,mengatakan:
“Communication is the whole process used to reach other minds”.
Komunikasi juga dapat didefinisikan sebagai upaya untuk menyampaikan pesan,
pendapat, perasaan, atau memberikan berita atau informasi kepada orang lain
(Endang Lestari: 2003).
Definisi lain
komunikasi ialah "satu proses perpindahan maklumat, perasaan, ide dan
fikiran seseorang individu kepada individu/sekumpulan individu yang lain".
(Wikipedia Indonesia-Ensiklopedia Berbahasa Bebas, htm).
Apabila tidak
ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat
dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu,
misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut
komunikasi dengan bahasa non verbal atau bahasa isyarat.(Wikipedia
Indonesia-Ensiklopedia Berbahasa Bebas, htm).
2.3.1. Komponen Komunikatif
Sebagaimana
dijelaskan di atas, komunikasi adalah sebuah proses rangkap. Ia meliputi
–minimal- empat komponen. Yaitu, ide atau risalah, pengirim atau mursil,
wasilah atau media, dan penerima atau mustaqbil. Berikut
penjelasan singkat seputar keempat komponen komunikatif tersebut, ssebagaimana ditulis
Thaimah dan Naqah (2006:35).
a. Ide, adalah isi atau maksud yang ingin disampaikan
oleh penyampai kepada selainnya, dengan tujuan agar mereka bisa mengiuti atau
faham maksud penyampai. Pada dasarnya, ide merupakan pemikiran yang hendak
diungkapkan oleh penyampai dengan menggunakan bahasa yang dapat diterima kedua
belah pihak.
b. Penyampai, adalah sumber ide yang sekaligus menjadi
point utama terjadinya sebuah komunikasi. Penyampai bisa berupa person atau
kelompok, bisa juga berupa manusia atau sebuah media.
c. Media, adalah alat yang digunakan sebagai perantara
penyampaian ide dari penyampai ke penerima.
d. Penerima, adalah tujuan disampaikannya satu ide.
Sebagaimana penyampai, penerima juga bisa berupa person, atau kelomok.
Penerimalah yang bertugas memecahkan rumusan penyampaian ide dari penyampai.
Dalam prakteknya,
komunikasi adalah media interaksi dua pihak (sender-receiver) untuk
menyampaikan segala hal dan aktifitas, baik yang berhubugan dengan pikiran atau
tenaga. Seorang yang ingin menyampaikan apa yang ada di pikirnnya kepada orang
lain, ia bisa melakukannya secara lisan atau tertulis. Dengan cara lisan, sender
dituntut mampu menyususn kalimat dan diungkapnya sesuai rumusan yang berlaku
agar apa yang dikehendakinya bisa ditengkap receiver. Dalam istilah ilmu
komunikasi, sender dituntut mampu ber-encoding, yakni penyusunan
rumus-rumus bahasa agar pesan bisa tersampaikan; sementara receiver yang
aktif akan ber-decoding, yakni berusaha memecahkan rumusah bahasa
sebagai media penyampaian pesan dari sender.
Berbicara komunikatif adalah kemampuan
mengirimkan pesan dengan jelas, manusiawi, efisien dan menerima pesan secara akurat”
(D.B. Curtis, 1992). Sedangkan J.A Devito (1997) mendefinisikan : Suatu
tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang
terdistorsi oleh gangguan terjadi dalam satu konteks tertentu, mempunyai
pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik” Begitu
juga lebih jauh berbicara efektif adalah „Aktifitas menyampaikan apa yang ada dipikiran, konsep yang kita miliki
dan keinginan yang ingin kita sampaikan pada orang lain. Atau sebagai seni
mempengaruhi orang lain untuk memperoleh apa yang kita inginkan”. (B.S.Wibowo, 2002).
2.4. Pendekatan
Komunikatif dalam Keterampilan Bahasa
2.4.1. Hakikat Pendekatan Komunikatif
Munculnya istilah pendekatan komunikatif dalam pembelajaran
bahasa diilhami oleh suatu teori yang memandang bahasa sebagai alat
berkomunikasi. Berdasarkan teori tersebut, maka tujuan pembelajaran bahasa
dirumuskan sebagai ikhtisar untuk mengembangkan kemampuan yang oleh Hymes
(1972) disebut kompetensi komunikatif.
Pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa muncul pada
tahun 1970-an sebagai reaksi terhadap empat aliran pembelajaran bahasa yang
dianut sebelumnya (grammar translation method, direct method, audiolingual
method, dan cognitive learning theory). Keempat metode itu memiliki ciri yang
sama iaitu pembelajaran bahasa dalam bidang struktur bahasa yang disebut
pembelajaran bahasa struktural atau pembelajaran bahasa yang berdasarkan
pendekatan struktural.
Pendekatan struktural menitikberatkan pengajaran bahasa pada
pengetahuan tentang kaidah bahasa (tatabahasa) yang biasanya disusun dari
struktur yang sederhana ke struktur yang kompleks. Para pembelajar mula-mula
diperkenalkan bunyi-bunyi, bnetuk-bentuk kata, struktur kalimat, kemudian makna
unsur-unsur tersebut. Kelemahan pendekatan struktural ialah tidak pernah
memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk berlatih menggunakan bahasa dalam
situasi komunikasi yang nyata yang sesungguhnya lebih urgen dimiliki oleh para peserta
didik ketimbang pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa. Kelemahan dari
pendekatan struktural itulah mengilhami lahirnya pendekatan komunikatif yang
menitik beratkan perhatian pada penggunaan bahasa dalam situasi komunikasi.
Pendekatan komunikatif memberikan tekanan pada kebermaknaan dan fungsi bahasa.
Dengan kata lain, bahasa untuk tujuan tertentu dalam kegiatan berkomunikasi.
Selanjutnya,
untuk memahami hakikat pendekatan komunikatif, menurut Syafi’ie (1998) ada
delapan hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.
Teori Bahasa
Pendekatan komunikatif berdasarkan pada teori bahasa yang
menyatakan bahwa pada hakikatnya bahasa itu merupakan suatu sistem untuk
mengekspresikan makna. Teori ini lebih memberi tekanan pada dimensi semantik
dan komunikatif. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa yang berdasarkan
pendekatan komunikatif yang perlu ditonjolkan ialah interaksi dan komunikasi
bahasa, bukan pengetahuan tentang bahasa.
b.
Teori Belajar
Pembelajar dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas yang
bermakna dan dituntut untuk menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Teori
belajar yang cocok untuk pendekatan ini ialah teori pemerolehan bahasa kedua
secara alami. Teori ini beranggapan bahwa proses belajar bahasa lebih efektif
apabila bahasa diajarkan secara informal melalui komunikasi langsung di dalam
bahasa yang sedang dipelajari.
c.
Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan pendekatan komunikatif
merupakan tujuan yang lebih mencerminkan kebutuhan peserta didik iaitu
kebutuhan berkomunikasi, maka tujuan umum pembelajaran bahasa ialah
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi (kompetensi dan
performansi).
d.
Silabus
Silabus disusun searah dengan tujuan pembelajaran, yang harus
dipehatikan ialah kebutuhan para pembelajar. Tujuan-tujuan yang dirumuskan dan
materi yang diilih harus sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
e.
Tipe Kegiatan
Tipe kegiatan komunikasi dapat berupa kegiatan tukar
informasi, negosiasi makna, atau kegiatan berinteraksi.
f.
Peranan Guru
Guru berperan sebagai fasilitator, konselor,
dan manajer proses belajar.
g.
Peranan Peserta didik
Peranan peserta didik sebagai pemberi dan penerima, sebagai
negosiator dan interaktor. Di samping itu, pelatihan yang langsung dapat
mengembangkan kompetensi komunikatif pembelajar. Dengan demikian, peserta didik
tidak hanya menguasai struktur bahasa, tetapi menguasai pula bentuk dan
maknanya dalam kaitan dengan konteks pemakaiannya.
h.
Peranan Materi
Materi disusun dan disajikan dalam
peranan sebagai pendukung usaha meningkatkan kemahiran berbahasa dalam tindak
komunikasi yang nyata. Materi berfungsi sebagai sarana yang sangat penting
dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
2.
Prosedur Pembelajaran Komunikatif
Berkenaan dengan prosedur pembelajaran
dalam kelas bahasa yang berdasarkan pendekatan komunikatif, Finochiaro dan
Brumfit (dalam Azies, 1996), menawarkan garis besar kegiatan pembelajaran untuk
tingkat sekolah menengah pertama. Garis besar tersebut sebagai berikut.
a.
Penyajian Dialog Singkat
Penyajian ini didahului dengan
pemberian motivasi dengan cara menghubungkan situasi dialog dengan pengalaman
pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari.
b. Pelatihan Lisan Dialog yang Disajikan
b. Pelatihan Lisan Dialog yang Disajikan
Pelatihan
ini diawali dengan contoh yang dilakukan oleh guru. Para peserta didik
mengulang contoh lisan gurunya, baik secara bersama-sama, setengah, kelompok
kecil, atau secara individu.
c.
Tanya-Jawab
Hal ini dilakukan dua fase. Pertama, tanya-jawab yang
berdasarkan topik dan situasi dialog. Kedua, tanya-jawab tentang topik itu
dikaitkan dengan pengalaman pribadi peserta didik.
d.
Pengkajian
Peserta didik diajak untuk mengkaji salah satu ungkapan yang
terdapat dalam dialog. Selanjutnya, para peserta didik diberi tugas untuk
memberikan contoh ungkapan lain yang fungsi komunikatifnya sama.
e.
Penarikan Simpulan
Peserta didik diarahkan untuk membuat simpulan tentang kaidah
tata bahasa yang terkandung dalam dialog.
f.
Aktivitas Interpretatif
Peserta didik diarahkan untuk menafsirkan
beberapa dialog yang dilisankan.
g. Aktivitas Produksi Lisan
g. Aktivitas Produksi Lisan
Dimulai dari aktivitas komunikasi
terbimbing sampai kepada aktivitas yang bebas.
h.
Pemberian Tugas
Memberikan tugas tertulis sebagai pekerjaan
rumah
i.
Evaluasi
Evaluasi pembelajaran dilakukan secara lisan
(Tarigan, 1991).
Memperhatikan prosedur di atas, dapat dilihat adanya kesamaan
antara prosedur pembelajaran yang berdasarkan prinsip pendekatan struktural. Lain
halnya yang disodorkan oleh Littlewood adalah prosedur metodologis yang terbagi
atas kegiatan prakomunikatif dan kegiatan komunikatif. Sejalan dengan itu,
Harmer (1998) mengemukakan bahwa tahap-tahap pembelajaran bahasa komunikatif
harus dimulai dari aktivitas nonkomunikatif menuju aktivitas komunikatif. Dalam
fase kegiatan nonkomunikatif, para pembelajar belum memiliki keinginan untuk
berkomunikasi, juga mereka tidak memiliki tujuan berkomunikasi. Pada tahap ini
peranan guru masih dominan, guru masih sering melakukan intervensi. Dalam fase
komunikatif, pemebelajar sudah memiliki keinginan dan tujuan berkomunikasi. Pembelajar
tidak lagi menitikberatkan pada bentuk, tetapi pada isi.
Berkenaan dengan penggunaan pendekatan komunikatif Littlewood, mengemukakan ada dua kegiatan
komunikatif yang perlu dikenal, yaitu:
1.
Kegiatan komunikasi fungsional
2.
Kegiatan interaksi sosial
Kegiatan komunikasi fungsional dapat berupa kegiatan
berbahasa untuk saling membagi informasi dan kegiatan berbahasa untuk mengolah
informasi yang keduanya dapat dirinci menjadi:
a.
kegiatan saling membagi informasi dengan kerja sama yang terbatas
b.
kegiatan saling membagi informasi dengan kerja sama yang tidak terbatas
c.
kegiatan saling membagi informasi dan mengolah informasi
d.
kegiatan mengolah informasi
Kegiatan
interaksi sosial dapat berupa:
a.
dialog dan bermain peran
b.
simulasi
c.
memerankan lakon pendek yang lucu
d.
improvisasi
e.
berdebat, dan
f.
melaksanakan berbagai bentuk diskusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar